PENDIRI DAN GURU BESAR
BHAYU MANUNGGAL
|
KEHIDUPAN
Ki Djojosuwito dikenal pula dengan nama Pandita Dharmawirya, lahir di kampung Prawirotaman, Yogyakarta, pada hari Minggu Legi tahun 1889, putra kedua Ki Martodihardjo (RM. Saring Martoredjo). Kakek buyut beliau RM. Ng. Prawirabrata, dari garis ibu adalah cucu Raja Surakarta Pakubuwono III. Sedangkan dari garis ayah, RM.Ng. Prawirabrata adalah generasi ke 8 dari Raja Pajang Sultan Hadiwijaya. Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya berguru kepada ayahandanya, yaitu Ki Kebo Kenanga, Adipati Pengging ke VI, ningrat trah Majapahit, kemudian berguru pula kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Kampung Prawirotaman, Yogyakarta tempat tinggal beliau, dahulu adalah kampung para prajurit Mataram. Pada sebelum dan ketika perang kemerdekaan, Prawirotaman menjadi tempat konsentrasi markas besar laskar pejuang, diantaranya yang terkenal adalah pasukan Hantu Maut. Ketika itu Ki Djojosuwito adalah salah satu pimpinan pasukan yang menjabat sebagai Ketua Pasukan Sandi Yudha atau Ketua Intelijen Badan Pemberontak Repoeblik Indonesia wilayah Yogyakarta yang didirikan oleh Bung Tomo. Beliau juga aktif dalam kepengurusan PRN (Partai Rakyat Nasional) mendampingi Mr. Djoedi Gondokoesoema. Sejak kecil, beliau biasa hidup berkelana, lelaku dan ngéngér serta menyenangi seni beladiri. Beliau dikenal pula dengan julukan Djojo Ngali. Julukan Ngali tersebut terlihat erat hubungannya dengan masa mudanya yang pernah lelaku "tapa ngintir" dari hulu hingga muara sungai Bengawan Solo. Lingkungan keluarga yang memang prajurit tempur membentuknya lahir batin mencintai seni beladiri. Kebiasaan mengumpulkan teman-teman sebaya sejak kecil untuk berpencak ria menjadikannya gemar belajar dan mengajar. Hingga akhir hayat Mbah Djojo tidak berputra, sehingga kedekatan kepada murid-muridnya seperti kepada anak-anaknya sendiri. Pada bulan September hari Minggu Legi tahun 2000 Masehi, 111 tahun dilewati, Ki Djojosuwito alias Pandita Dharmawirya, Guru Besar Perguruan dan Pencipta Ilmu Bhayu Manunggal tutup usia. Beliau diperabukan dan abunya dimakamkan di makam Krapyak, Yogyakarta. Beliau meninggalkan ilmu Bhayu Manunggal pada para muridnya yang tersebar di persada Nusantara dan juga manca negara. Ilmu Bhayu Manunggal adalah energi kekal, ia akan terus ada dan akan hinggap di pribadi yang selaras. Semua ini demi turut memayu hayuning bawana. (Dok. Perguruan) KELUARGA
Ki Djojosuwito memiliki kakek buyut bernama RM. Ng. Prawirabrata dari garis ibu yang merupakan cucu Pakubuwono III, Raja Surakarta. Ayah RM. Ng. Prawirabrata adalah keturunan ke 8 Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang. RM. Ng. Prawirabrata ketika muda terkenal ahli olah kanuragan memiliki kelebihan lahir bathin, pemberani, tidak mengenal takut membela kebenaran dan memiliki keahlian khusus tentang kuda (pawang kuda). Keahlian tentang kuda ini kemudian turun kepada cucu dan buyutnya (RM Saring Martoredjo dan Ki Atmodihardjo - ayah dan kakak Ki Djojosuwito), yang pada masa muda mereka terkenal sebagai pembalap kuda tanpa tanding
RM.Ng. Prawirabrata setelah berhasil menentramkan pergolakan antara pengikut Pangeran Diponegoro dengan Belanda di Kabupaten Bantul lantas diangkat sebagai Kepala Distrik Cepit. Tidak berapa lama kemudian muncul lagi kerusuhan dengan persoalan yang sama di daerah Sleman. Pasukan RM. Ng. Prawirabrata diminta bantuan. Akhirnya Belanda mundur, dengan korban yang tidak sedikit. Rakyat di wilayah tersebut merasa dibela dan menjadi tentram kembali. Karena lama tidak di karuniai putra, di wilayah tersebut RM. Ng. Prawirabrata menikah lagi dengan putri sesepuh dusun Mlangi, juga tidak dikaruniai putra. Kemudian diangkat sebagai Kepala Distrik Wanadadi, Kulon Progo. Karena tidak pula dikaruniai putra, beliau menikah lagi untuk yang ke 3 kalinya dengan Ni Kisi putra Kiai Astratilaja dari dusun Punukan, pembesar Kabupaten Banyumas darah Wirasaba, yang saat perang Diponegoro menyingkir dari Banyumas karena menentang pemerintah Belanda. Hidup menyamar sebagai rakyat biasa. Kepribadian Ki Djojosuwito terbentuk dan banyak dipengaruhi oleh RM. Ng. Prawirabrata sebagai kakek buyut dan juga Ni Kisi, nenek buyutnya, keluarga sederhana yang terbiasa hidup dalam penyamaran. Kerabat RM. Ng. Prawirabrata di Distrik Wanadadi, Kabupaten Kulon Progo, bersama kerabat Pajang yang menyebar di wilayah tersebut pada tahun 1957 mereka membentuk perkumpulan Trah Birowo, yang merupakan perkumpulan dari keturunan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang mewarisi ilmu dari ayahnya, Ki Kebo Kanigara (Pengging VI - Majapahit) dan Sunan Kalijaga. Pada masa hidup Ki Djojosuwito tidak pernah memperjelas silsilahnya. Namun beberapa murid terdekat, suatu saat sering menyertai beliau nyekar ke Kulon Progo. Beberapa murid inilah walaupun serba terbatas masing-masing pada kesempatan terbaik menerima penjelasan tentang leluhur beliau. Setelah Ki Djojosuwito wafat barulah buku Trah Birowo ditemukan dari kumpulan berkas-berkas beliau di Padepokannya, di Prawirotaman. (Dok. Perguruan) PRINSIP DAN PENGARUH
Sebagian dari prinsip dasar hidup Eyang Djojo adalah prasaja (bersahaja), aja kumawasis (jangan merasa paling pintar), aja kumalungkung (jangan takabur), aja gumunan (jangan mudah heran), andap asor (rendah hati), sapada-pada (mengasihi sesama). Ini pula yang menjadi sikap dasar yang diajarkan kepada murid Bhayu Manunggal. Banyak kawan upaya tak berlawan adalah bagian dari motto yang dapat dipetik dari beliau. Sejak masa muda, beliau terbiasa bersahabat dan bergaul dekat dengan tokoh-tokoh persilatan Nusantara dari daerah-daerah Jawa, Madura, Bali dan Sumatera. Beberapa tokoh tersebut antara lain berasal dari Jawa Barat – Daerah Banjar, Tasik, Banten, Pandeglang, Jawa Timur – Pacitan, Ponorogo, Bojonegoro dan Madura, Bali – Klungkung, Sumatra – Palembang, Pagaruyung (Minangkabau) dan Aceh. Juga para tokoh dan praktisi seni beladiri lain dari luar Nusantara, misalnya di lingkungan klenteng China dan perkumpulan kungfu China (Sam Bang Po – Pathuk, Yogyakarta) dan prajurit bala tentara Jepang. Pergaulan yang luas ini diantaranya mempengaruhi ciri-ciri ilmu yang diciptakannya di kemudian hari. Adalah hal biasa pula bagi beliau, menyebarkan ilmu kepada pribadi-pribadi muda, walaupun bukan muridnya sendiri. Ilmunya menyebar secara tidak langsung di dalam berbagai aliran perguruan Nusantara dan manca negara. Berdasarkan falsafahnya bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Bersama Bapak Sukowinadi - kelak Guru Besar PERPI Harimurti, Ki Djojosuwito pernah menimba ilmu pencak silat kepada RM. Harimoerti dari nDalem Tedjokusuman, Yogyakarta. Hingga suatu saat, Eyang Djojo menciptakan ilmunya yang bercorak ragam dan isi Nusantara yang diberi nama Bhayu Manunggal yang mengandung arti unsur yang terpadu menjadi pedoman mewujudkan kesempurnaan. (Dok. Perguruan) BHAYU MANUNGGAL
Bhayu Manunggal Unsur yang terpadu menjadi pedoman mewujudkan kesempurnaan. Pada hari Minggu Kliwon tanggal 1 Juni tahun 1930 atau tanggal 1 Suro 1349 H di Yogyakarta beliau mendirikan Perguruan Bhayu Manunggal. Pada jaman pra kemerdekaan Beliau menyebarkan tata beladiri yang dikuasainya secara diam-diam, melalui lingkungan budaya kesenian, pribadi-pribadi, pertemanan, kekeluargaan, berpindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah yang lain. Ilmu yang diajarkan, terutama cara berkelahi yang langsung segera dapat dipergunakan menghadapi pertempuran yang sesungguhnya berupa tata gerak melumpuhkan atau mematikan lawan, dilapisi dengan kekuatan atau kedigdayan tahan terhadap serangan, bacokan, pukulan bahkan tembakan peluru. Semua itu ditujukan untuk membangun kekuatan lahir batin para pemuda bagi perjuangan kemerdekaan. Setelah kemerdekaan RI selain melalui Padepokan Pencak Silat, beliau menyebarkan ilmunya di berbagai lapisan masyarakat, baik secara pribadi ataupun berkelompok melaui kursus pencak silat yang diadakan atau diselenggarakan oleh para tokoh pencak silat maupun instansi pemerintah, beliau sebagai guru panggil. Jiwa dan semangat para pendekar semakin bergelora untuk mewujudkan identitas seni tata beladiri Nasional. Ki Djojosuwito yang tergolong kelompok tua (saat itu beliau sudah berusia hampir 60 tahun), berupaya mendorong para pendekar muda dari berbagai asal Perguruan, agar membentuk wadah untuk mempersatukan tata beladiri Nusantara. Buah dari semangat para Pendekar Muda tersebut pada tahun 1948 di Solo diwakili beberapa perguruan yang menghadiri pertemuan dapat didirikan cikal bakal IPSI. Perwakilan ini kemudian menjadi 10 Perguruan Historis. Namun entah mengapa Perguruan Bhayu Manunggal asuhan Ki Djojosuwito tidak dimasukkan sebagai perguruan historis IPSI, padahal beliau yang mendorong dan mengajak para pendekar muda agar membentuk organisasi tersebut. Di antara para pribadi yang masih ada dapat disebutkan antara lain adalah Raden Panji Setiosoeprapto alias A.D. Nelson (Guru Besar Pamor Badai) yang menetap dan mengembangkan perguruannya di negeri Belanda. Raden Panji Setiosoeprapto mewarisi ilmu turunan keluarga yang berasal dari alur Pangeran Suhita di jaman Majapahit. Dalam penelusuran dan pendalaman alur alirannya ia menemukan Bhayu Manunggal pada Ki Djojosuwito yang berhulu pada sumber yang sama dengannya. Kini Bhayu Manunggal menjadi bagian dari ilmu yang dimiliki dan dikembangkannya pada Perguruan Pamor Badai. (Dok. Perguruan) PELOPOR PENCAK SILAT INDONESIA (POPSI)
Dalam rangka pengembangan organisasi dan atas desakan beberapa siswa keluarga Bhayu Manunggal, yaitu Ragil Sardjono, Ir. Wahyu Cahyo Suryono, Agus Sugeng SH, Drs. Suharto, Mayor Drs. Hery Warso, Drs. V. Munandir serta Ki Djojosuwito sebagai Guru Besar Perguruan, maka pada hari Minggu Kliwon tanggal 26 Juli tahun 1970 Masehi didirikan Pelopor Pencak Silat Indonesia (POPSI) yang merupakan badan organisasi dari Perguruan Bhayu Manunggal. Pada tahun 1975, berdasarkan kesepakatan semua murid yang telah mendirikan berbagai perguruan atau organisasi bergabung di bawah satu bendera. Sebagai induk organisasi dibentuk Pengurus Besar POPSI Bhayu Manunggal. Kepengurusan pertama PB. POPSI Bhayu Manunggal di motori oleh tiga orang, yaitu Ir. Widodo Kusuma, Drs. Warie Suharyanto, dan R. Subur BA. Semasa hidup Ki Djojosuwito bertempat tinggal di Prawirotaman MG VI No. 248, Yogyakarta, yang sekaligus sebagai Padepokan POPSI Bhayu Manunggal. (Dok. Perguruan) |