Kebanggaan
Trampil Trengginas Tanggap Tangguh Tanggon
Karakter
Tata Titi Titis Tatas
Taberi Tabah Tanggwa Trapsila Tanja agar Tumuwuh
Semangat
Tatag Teteg bakal Tutug
|
MISI BHAYU MANUNGGAL
Organisasi perguruan pencak silat POPSI Bhayu Manunggal memiliki misi sebagai berikut:
(Dok. Perguruan) |
SUSUNAN PENGURUS
KETUA Ir. H. Abdul Karim WAKIL KETUA Alexander Bambang Setyadji, SE, ME SEKRETARIS JENDERAL Yuli Isnawan, SE MAJELIS WALI Ki Suharto Ki Suyoko Ki Warie S. Ki Murdiyono Ki Subadi KETUA DEWAN PENDEKAR Ir. Yuwana |
MAKSUD DAN TUJUAN BHAYU MANUNGGAL
Menurut Ki Djojosuwito, pendiri dan guru besar perguruan pencak silat POPSI Bhayu Manunggal, beladiri adalah kodrat makhluk hidup dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, dan tujuan latihan pencak silat Bhayu Manunggal adalah agar trampil dan trengginas menggunakan seluruh anggota badan untuk perubahan. Perubahan dalam hal ini mengandung makna yang luas, seperti misalnya perubahan posisi, perubahan arah, perubahan bentuk dan perubahan fungsi dan tujuan, baik tanpa senjata maupun dengan senjata, dengan unsur-unsur beladiri yang meliputi serangan, tangkisan, terimaan, dorongan, ambilan (saut atau tangkap), sergapan, tangguhan atau ganjalan, sapuan, bantingan, kuncian, hindaran, oletan, irisan dan totokan. Berlatih pencak silat berarti melatih gerak agar semua anggota badan kita bisa digunakan apa saja yang dilakukan secara trampil dan trengginas. Dengan latihan fisik dan batin yang tepat dan berkesinambungan, maka diharapakan terbentuk pribadi yang tanggap tangguh dan tanggon.
Organisasi perguruan pencak silat POPSI Bhayu Manunggal berfungsi sebagai wahana untuk membina, mendidik dan melatih anggota melalui pencak silat agar menjadi insan yang memiliki karakter bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, cerdas, trampil, trengginas, tanggap, tangguh, tanggon, jujur dengan integritas tinggi, bijaksana dan bersikap kesatria. Oleh karena itu, pesilat yang baik mampu beradaptasi dan menempatkan diri pada segala kondisi.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengandung makna melakukan segala perbuatan baik yang diperintahkan dan diridhai Tuhan dan menjauhi segala perbuatan buruk yang dilarang Tuhan. Pesilat secara berkelanjutan berlatih mengembangkan pikiran yang selaras, perbuatan baik yang positif, tidak merugikan pihak lain, tidak “aji mumpung”, dan tidak menindas yang lemah, tidak korup, tidak sombong namun mengembangkan sikap rendah hati dan bijaksana peduli terhadap sesama.
Berbudi pekerti luhur, bermakna memiliki pola pikir, perilaku dan tindakan terhormat, mulia, tulus dan ikhlas, pandai bersyukur serta penuh kebesaran hati.
Cerdas, merupakan keadaan dimana seseorang mudah mengerti dan paham. Trampil, meliputi aspek teknik (cara) dan taktik (siasat), mengandung arti cekatan, ahli, terlatih, cakap, mahir, ulung, pandai, tangkas, pintar, licik, cerdik, lihai, dan licin. Trengginas, berarti trampil, cekatan, dan cepat dalam melakukan perubahan dari berbagai kedudukan atau posisi ke kedudukan atau posisi baru.
Tanggap, berarti cerdik, lekas mengerti, peka, berempati dan toleran. Tangguh, artinya kuat, keras, kencang, tajam, kukuh, tegas, teguh, dan bersungguh-sungguh. Tanggon, merupakan sikap mental yang tetap, stabil, dan pantang menyerah. Pesilat harus menjadi insan yang kuat, jujur dan bijaksana.
Bersikap kesatria, dengan pribadi yang beradab sopan-santun, baik hati, hormat, mau mengakui kesalahan dan tidak merendahkan yang dikalahkan, mengakui kelemahan diri sendiri dan mengakui kelebihan pihak lain yang memang lebih unggul.
Pada aspek olahraga, gerakan pencak silat dapat menyehatkan badan, dan dapat dipertandingkan atau dilombakan. Pun, teknik meditasi dalam pencak silat dapat menyehatkan pikiran dan badan. Dari aspek keluwesan, kelenturan dan keindahan serta harmonisasi gerak, pencak silat juga dapat diperagakan sebagai suatu karya seni yang tinggi. Banyak pertunjukan yang bersifat hiburan dapat ditampilkan dari unsur seni pencak silat.
(Dok. Perguruan)
Organisasi perguruan pencak silat POPSI Bhayu Manunggal berfungsi sebagai wahana untuk membina, mendidik dan melatih anggota melalui pencak silat agar menjadi insan yang memiliki karakter bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, cerdas, trampil, trengginas, tanggap, tangguh, tanggon, jujur dengan integritas tinggi, bijaksana dan bersikap kesatria. Oleh karena itu, pesilat yang baik mampu beradaptasi dan menempatkan diri pada segala kondisi.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengandung makna melakukan segala perbuatan baik yang diperintahkan dan diridhai Tuhan dan menjauhi segala perbuatan buruk yang dilarang Tuhan. Pesilat secara berkelanjutan berlatih mengembangkan pikiran yang selaras, perbuatan baik yang positif, tidak merugikan pihak lain, tidak “aji mumpung”, dan tidak menindas yang lemah, tidak korup, tidak sombong namun mengembangkan sikap rendah hati dan bijaksana peduli terhadap sesama.
Berbudi pekerti luhur, bermakna memiliki pola pikir, perilaku dan tindakan terhormat, mulia, tulus dan ikhlas, pandai bersyukur serta penuh kebesaran hati.
Cerdas, merupakan keadaan dimana seseorang mudah mengerti dan paham. Trampil, meliputi aspek teknik (cara) dan taktik (siasat), mengandung arti cekatan, ahli, terlatih, cakap, mahir, ulung, pandai, tangkas, pintar, licik, cerdik, lihai, dan licin. Trengginas, berarti trampil, cekatan, dan cepat dalam melakukan perubahan dari berbagai kedudukan atau posisi ke kedudukan atau posisi baru.
Tanggap, berarti cerdik, lekas mengerti, peka, berempati dan toleran. Tangguh, artinya kuat, keras, kencang, tajam, kukuh, tegas, teguh, dan bersungguh-sungguh. Tanggon, merupakan sikap mental yang tetap, stabil, dan pantang menyerah. Pesilat harus menjadi insan yang kuat, jujur dan bijaksana.
Bersikap kesatria, dengan pribadi yang beradab sopan-santun, baik hati, hormat, mau mengakui kesalahan dan tidak merendahkan yang dikalahkan, mengakui kelemahan diri sendiri dan mengakui kelebihan pihak lain yang memang lebih unggul.
Pada aspek olahraga, gerakan pencak silat dapat menyehatkan badan, dan dapat dipertandingkan atau dilombakan. Pun, teknik meditasi dalam pencak silat dapat menyehatkan pikiran dan badan. Dari aspek keluwesan, kelenturan dan keindahan serta harmonisasi gerak, pencak silat juga dapat diperagakan sebagai suatu karya seni yang tinggi. Banyak pertunjukan yang bersifat hiburan dapat ditampilkan dari unsur seni pencak silat.
(Dok. Perguruan)
|
|
PERGURUAN DAN ORGANISASI
Perguruan Bhayu Manunggal didirikan pada hari Minggu Kliwon tanggal 1 Juni tahun 1930 atau tanggal 1 Suro 1349H di Yogyakarta oleh Ki Djojo Ngali, yang pada kemudian hari bernama Ki Djojosuwito. Dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, beliau memiliki gelar bangsawan Raden Mas yang tidak pernah beliau cantumkan. Pada mulanya lingkungan kehidupan sangat mempengaruhi kepribadiannya. Kegemarannya mempelajari seni tata beladiri sejak kecil membentuk pribadinya hingga dapat mengenali alur garis keturunan dan menguasai akar tata beladiri bangsanya. Kisah-kisah heroik para leluhur sejak jaman Jayabaya, Majapahit, Pajang hingga Mataram terutama ketika perang Jawa pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro membentuk pribadinya yang cinta tanah air. Darah prajurit pejuang yang mengalir menggiring beliau berjuang dengan caranya. Maka berdirilah Perguruan Bhayu Manunggal yang secara diam-diam menghimpun para generasi muda saat itu untuk dibentuk menjadi manusia yang berketahanan dan mencintai tanah air.
Ki Djojosuwito, di Yogyakarta maupun di dunia persilatan dikenal pula secara luas sebagai Mbah Djojo, sejak muda gemar berkelana belajar dan mengajar pencak silat, bahkan selama hidup terus bergelut di bidang ini.
Kegemaran mengajar yang mendalam sejak remaja, dan hingga usia lebih dari 90 tahun beliau masih aktif mengajar langsung. Setelah kemerdekaan RI selain melalui Padepokan Pencak Silat, beliau menyebarkan ilmunya di berbagai lapisan masyarakat, baik secara pribadi ataupun kelompok, kursus pencak silat yang diselenggarakan oleh para tokoh pencak silat maupun instansi pemerintah. Selain mengajar di Perguruan sendiri, beliau pun memberikan latihan diluar Perguruan sendiri untuk tingkat lanjut sebagai guru panggil, untuk melatih teknik pertarungan bebas. Pada masa muda, beliau biasa berjalan kaki hingga puluhan kilometer hingga mencapai tempat latihan untuk mengajar pencak silat, dan tidak pernah terlambat.
Beberapa sekolah yang pernah diajar Mbah Djojo antara lain SMPN II Bantul, STM Yapera Jogjakarta, SPBMA MM’52 Jogjakarta (1952-1967), SPBMA Indonesia Jogjakarta (1975-2000), SPBMA PGRI Sleman (1978-2000), Sekolah Tinggi Perkebunan (STIPER/INSTIPER Yogyakarta) menjadi kurikulum mata kuliah wajib. Tata gerak, sistim latihan, gaya pertarungan yang diterapkan, secara teknis sangat memenuhi syarat untuk dimiliki dan melengkapi keterampilan pasukan perang. Murid-muridnya telah pula melatih Pasukan Komando TNI, yaitu tahun 1968-1970, beberapa orang siswa keluarga perguruan Bhayu Manunggal melatih Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU Lanud Adisucipto, Yogyakarta. Model latihan ini merupakan awal masuknya pencak silat ke jajaran Pasukan Komando TNI.
Sejak masa muda, Ki Djojosuwito terbiasa bersahabat dan bergaul dekat dengan tokoh-tokoh persilatan Nusantara dari daerah-daerah Jawa, Madura, Bali dan Sumatera. Beberapa tokoh tersebut antara lain berasal dari Jawa Barat – daerah Banjar, Tasikmalaya, Banten, Pandeglang, Jawa Timur – Pacitan, Ponorogo, Bojonegoro dan Madura, Bali – Klungkung, Sumatra – Palembang, Pagarruyung (Minang dan Aceh). Juga para tokoh dan praktisi seni beladiri lain dari luar Nusantara, misalnya di lingkungan Klenteng Cina dan prajurit bala tentara Jepang.
Pergaulan yang luas ini diantaranya mempengaruhi ciri-ciri ilmu yang diciptakannya dikemudian hari. Adalah hal biasa pula bagi beliau, menyebarkan ilmu kepada pribadi-pribadi muda, walaupun bukan muridnya sendiri. Ilmunya menyebar secara tidak langsung didalam berbagai aliran perguruan Nusantara dan Luar Negeri. Berdasarkan falsafahnya bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup, maka manusia berhak belajar dan mengajar. Hal ini diantaranya yang mendasari sikap beliau dalam menyebarkan ilmunya. Hal ini pula yang pada suatu masa membawa beliau berada dan mengasuh salah satu Perguruan Historis IPSI.
Beliau sempat merintis pendirian Laboratorium Pencak Silat di Yogyakarta bersama-sama Ki Tarjonegoro (PHASADJA), Ki Poerwowarso (SHO), Ki Secodipoero (SHT), Ki Brototaryo (BIMA), dll.
Pada masa muda aktifitas perjuangannya melalui badan-badan organisasi, diantaranya sebagai Ketua Badan Intelejen BPRI (Badan Pemberontak Republik Indonesia) Wilayah Yogyakarta yang didirikan oleh Bung Tomo. Dan aktif dalam kepengurusan PRN (Partai Rakyat Nasional) mendampingi Mr. Djoedi Gondokoesoma.
Situasi politik tahun 1950-1965 secara perlahan turut merasuki perguruan beladiri tradisional pencak silat. Rasa “paling” para tokoh perguruan pencak silat masing-masing ingin ditonjolkan namun kurang didukung dengan kemampuan berorganisasi, lambat laun hubungan didalam perguruan masing-masing tidak harmonis, akibatnya banyak perguruan di pulau Jawa yang pecah, khususnya di Yogyakarta. Perguruan tua pecah menjadi beberapa perguruan.
MBah Djojo yang menyebarkan ilmu demi lestari dan berkembangnya seni beladiri bangsa ini, merasa gerah dan geram melihat situasi. Beliau kemudian menjaga jarak dan melepaskan diri dari lingkungan yang tak nyaman tersebut. Beliau sangat prihatin mengamati kehidupan generasi muda yang terkotak-kotak dalam bentuk kelompok-kelompok yang mencerminkan rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal semasa mudanya semangat dan jiwa bangsa dibangun dengan mengorbankan jiwa raga para pejuang demi persatuan dan kesatuan bangsa tersebut. Ketika itu pintu perguruan Bhayu Manunggal tetap terbuka selebar-lebarnya bagi generasi muda yang berasal dari kelompok atau golongan manapun tanpa kecuali, dengan tujuan melestarikan beladiri pencak silat sebagai warisan luhur seni budaya bangsa.
Dalam kekecewaan tersebut, Ki Djojosoewito sempat bersikap dengan membentuk organisasi pencak silat antara lain, Pencak Ikhlasing Rasa Persatuan Indonesia (PERPI) – (bukan salah satu perguruan historis IPSI hanya sama nama), Rasa Manunggaling Timbuling Kasantosan (ROMANTIKA) dengan pengurus Drs. V. Munandir, Agus Sugeng SH, Prof. Dr. Ir. Joko Prayitno Msc. Untuk lebih mempertegas sikap dalam rangka pengembangan organisasi dan atas desakan beberapa generasi muda siswa keluarga Bhayu Manunggal senior, yaitu Ragil Sardjono, Ir. Cahyo Suryono, Agus Sugeng SH, Drs. Suharto, Mayor. Drs. Hery Warso, Drs. V. Munandir, serta Ki Djojosuwito sebagai Guru Besar Perguruan, maka pada hari Minggu Kliwon tanggal 26 Juli tahun 1970 Masehi, didirikan Pelopor Pencak Silat Indonesia disingkat POPSI sebagai wadah organisasi yang bebas dari nuansa politis, yang merupakan badan organisasi dari Perguruan Bhayu Manunggal. Kata Pelopor dipakai untuk menunjukkan bahwa organisasi Perguruan Bhayu Manunggal bebas dari lingkungan atau kelompok yang bernuansa politik.
Pada masa akhir tahun 1960-an, walaupun suhu politik meningkat dan situasi ekonomi memburuk, dunia pencak silat nusantara seperti bangun dari tidur panjangnya. Pemerintah mulai memperhatikan seni budaya beladiri bangsa. Perguruan-perguruan persilatan tua walaupun telah telah terpecah berbenah diri, perguruan-perguruan muda pecahan dari berbagai aliran bermunculan, seiring dengan masuknya berbagai aliran seni beladiri lain dari bangsa Asia. IPSI aktif membenahi sistem organisasinya. Demikian pula Perguruan Bhayu Manunggal. Sejak berdirinya POPSI, aktifitas organisasi meningkat. Oleh siswa-siswa senior didirikan cabang-cabang organisasi POPSI diberbagai daerah. Setiap event yang diselenggarakan IPSI diikuti sebagai wujud kebersamaan.
Pada rentang waktu tahun 1970-1980, setelah beberapa tahun berdirinya POPSI sebagai organisasi, para siswa keluarga Perguruan Bhayu Manunggal yang sudah lebih dahulu mendirikan organisasi, diinventarisasi, agar supaya kelak tidak kehilangan sumber ilmu. Berdasarkan kesepakatan organisasi, semua bersatu dalam satu bendera. Sebagai induk organisasi dibentuk Pengurus Besar POPSI Bhayu Manunggal. Kepengurusan pertama PB POPSI Bhayu Manunggal dimotori oleh tiga orang, yaitu Ir. Widodo, Drs. Warie Suharyanto, dan R. Subur BA.
Sejak saat itu Perguruan Bhayu Manunggal berkembang melalui organisasi POPSI Bhayu Manunggal. Tidak berbeda dengan perguruan-perguruan Pencak silat yang lain di Nusantara. POPSI Bhayu Manunggal menyebar kesemua penjuru tanah air dan manca negara. Pada dekade kedua PB POPSI Bhayu Manunggal, jalannya organisasi semakin solid, motor organisasi menjadi empat orang, yaitu Ir. Wododo, Drs. Warie Suharyanto, R. Subur BA dan Ahmad Husein Indrajaya BSc. Organisasi Perguruan sejak berdirinya POPSI 1970, aktif mengikuti kegiatan persilatan nasional dan internasional. Beberapa siswa laga, dari beberapa daerah dan negara selalu mewarnai persilatan nasional dan internasional.
Sesuai dengan falsafahnya, bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup, maka demikian pula penyebaran ilmu Bhayu Manunggal berlangsung alamiah, melalui para pribadi yang pernah berguru secara pribadi langsung kepada Ki Djojosuwito sejak Perguruan Bhayu Manunggal berdiri maupun melalui siswa-siswa senior setelah dibentuknya badan organisasi POPSI yang kemudian menjadi POPSI Bhayu Manunggal.
Hingga kini masih banyak pribadi-pribadi yang memiliki ilmu Bhayu Manunggal belum terjangkau oleh komunikasi Keluarga Besar Bhayu Manunggal baik di tanah air maupun di luar negeri. Kita yakin dengan semangat dan kesadaran para pewaris yang terus menularkan dan mengembangkan ilmu Bhayu Manunggal yang merupakan aset peradaban manusia yang diciptakan oleh Ki Djojosuwito akan terus lestari membekas tidak akan hilang ditelan jaman.
Perguruan Bhayu Manunggal bersandar dan berlindung kepada Tuhan yang Maha Kuasa bersifat kekeluargaan dengan organisasi Pelopor Pencak Silat Indonesia (POPSI) yang tidak bernaung di dalam organisasi atau partai politik manapun.
(Dok. Perguruan)
Ki Djojosuwito, di Yogyakarta maupun di dunia persilatan dikenal pula secara luas sebagai Mbah Djojo, sejak muda gemar berkelana belajar dan mengajar pencak silat, bahkan selama hidup terus bergelut di bidang ini.
Kegemaran mengajar yang mendalam sejak remaja, dan hingga usia lebih dari 90 tahun beliau masih aktif mengajar langsung. Setelah kemerdekaan RI selain melalui Padepokan Pencak Silat, beliau menyebarkan ilmunya di berbagai lapisan masyarakat, baik secara pribadi ataupun kelompok, kursus pencak silat yang diselenggarakan oleh para tokoh pencak silat maupun instansi pemerintah. Selain mengajar di Perguruan sendiri, beliau pun memberikan latihan diluar Perguruan sendiri untuk tingkat lanjut sebagai guru panggil, untuk melatih teknik pertarungan bebas. Pada masa muda, beliau biasa berjalan kaki hingga puluhan kilometer hingga mencapai tempat latihan untuk mengajar pencak silat, dan tidak pernah terlambat.
Beberapa sekolah yang pernah diajar Mbah Djojo antara lain SMPN II Bantul, STM Yapera Jogjakarta, SPBMA MM’52 Jogjakarta (1952-1967), SPBMA Indonesia Jogjakarta (1975-2000), SPBMA PGRI Sleman (1978-2000), Sekolah Tinggi Perkebunan (STIPER/INSTIPER Yogyakarta) menjadi kurikulum mata kuliah wajib. Tata gerak, sistim latihan, gaya pertarungan yang diterapkan, secara teknis sangat memenuhi syarat untuk dimiliki dan melengkapi keterampilan pasukan perang. Murid-muridnya telah pula melatih Pasukan Komando TNI, yaitu tahun 1968-1970, beberapa orang siswa keluarga perguruan Bhayu Manunggal melatih Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU Lanud Adisucipto, Yogyakarta. Model latihan ini merupakan awal masuknya pencak silat ke jajaran Pasukan Komando TNI.
Sejak masa muda, Ki Djojosuwito terbiasa bersahabat dan bergaul dekat dengan tokoh-tokoh persilatan Nusantara dari daerah-daerah Jawa, Madura, Bali dan Sumatera. Beberapa tokoh tersebut antara lain berasal dari Jawa Barat – daerah Banjar, Tasikmalaya, Banten, Pandeglang, Jawa Timur – Pacitan, Ponorogo, Bojonegoro dan Madura, Bali – Klungkung, Sumatra – Palembang, Pagarruyung (Minang dan Aceh). Juga para tokoh dan praktisi seni beladiri lain dari luar Nusantara, misalnya di lingkungan Klenteng Cina dan prajurit bala tentara Jepang.
Pergaulan yang luas ini diantaranya mempengaruhi ciri-ciri ilmu yang diciptakannya dikemudian hari. Adalah hal biasa pula bagi beliau, menyebarkan ilmu kepada pribadi-pribadi muda, walaupun bukan muridnya sendiri. Ilmunya menyebar secara tidak langsung didalam berbagai aliran perguruan Nusantara dan Luar Negeri. Berdasarkan falsafahnya bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup, maka manusia berhak belajar dan mengajar. Hal ini diantaranya yang mendasari sikap beliau dalam menyebarkan ilmunya. Hal ini pula yang pada suatu masa membawa beliau berada dan mengasuh salah satu Perguruan Historis IPSI.
Beliau sempat merintis pendirian Laboratorium Pencak Silat di Yogyakarta bersama-sama Ki Tarjonegoro (PHASADJA), Ki Poerwowarso (SHO), Ki Secodipoero (SHT), Ki Brototaryo (BIMA), dll.
Pada masa muda aktifitas perjuangannya melalui badan-badan organisasi, diantaranya sebagai Ketua Badan Intelejen BPRI (Badan Pemberontak Republik Indonesia) Wilayah Yogyakarta yang didirikan oleh Bung Tomo. Dan aktif dalam kepengurusan PRN (Partai Rakyat Nasional) mendampingi Mr. Djoedi Gondokoesoma.
Situasi politik tahun 1950-1965 secara perlahan turut merasuki perguruan beladiri tradisional pencak silat. Rasa “paling” para tokoh perguruan pencak silat masing-masing ingin ditonjolkan namun kurang didukung dengan kemampuan berorganisasi, lambat laun hubungan didalam perguruan masing-masing tidak harmonis, akibatnya banyak perguruan di pulau Jawa yang pecah, khususnya di Yogyakarta. Perguruan tua pecah menjadi beberapa perguruan.
MBah Djojo yang menyebarkan ilmu demi lestari dan berkembangnya seni beladiri bangsa ini, merasa gerah dan geram melihat situasi. Beliau kemudian menjaga jarak dan melepaskan diri dari lingkungan yang tak nyaman tersebut. Beliau sangat prihatin mengamati kehidupan generasi muda yang terkotak-kotak dalam bentuk kelompok-kelompok yang mencerminkan rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal semasa mudanya semangat dan jiwa bangsa dibangun dengan mengorbankan jiwa raga para pejuang demi persatuan dan kesatuan bangsa tersebut. Ketika itu pintu perguruan Bhayu Manunggal tetap terbuka selebar-lebarnya bagi generasi muda yang berasal dari kelompok atau golongan manapun tanpa kecuali, dengan tujuan melestarikan beladiri pencak silat sebagai warisan luhur seni budaya bangsa.
Dalam kekecewaan tersebut, Ki Djojosoewito sempat bersikap dengan membentuk organisasi pencak silat antara lain, Pencak Ikhlasing Rasa Persatuan Indonesia (PERPI) – (bukan salah satu perguruan historis IPSI hanya sama nama), Rasa Manunggaling Timbuling Kasantosan (ROMANTIKA) dengan pengurus Drs. V. Munandir, Agus Sugeng SH, Prof. Dr. Ir. Joko Prayitno Msc. Untuk lebih mempertegas sikap dalam rangka pengembangan organisasi dan atas desakan beberapa generasi muda siswa keluarga Bhayu Manunggal senior, yaitu Ragil Sardjono, Ir. Cahyo Suryono, Agus Sugeng SH, Drs. Suharto, Mayor. Drs. Hery Warso, Drs. V. Munandir, serta Ki Djojosuwito sebagai Guru Besar Perguruan, maka pada hari Minggu Kliwon tanggal 26 Juli tahun 1970 Masehi, didirikan Pelopor Pencak Silat Indonesia disingkat POPSI sebagai wadah organisasi yang bebas dari nuansa politis, yang merupakan badan organisasi dari Perguruan Bhayu Manunggal. Kata Pelopor dipakai untuk menunjukkan bahwa organisasi Perguruan Bhayu Manunggal bebas dari lingkungan atau kelompok yang bernuansa politik.
Pada masa akhir tahun 1960-an, walaupun suhu politik meningkat dan situasi ekonomi memburuk, dunia pencak silat nusantara seperti bangun dari tidur panjangnya. Pemerintah mulai memperhatikan seni budaya beladiri bangsa. Perguruan-perguruan persilatan tua walaupun telah telah terpecah berbenah diri, perguruan-perguruan muda pecahan dari berbagai aliran bermunculan, seiring dengan masuknya berbagai aliran seni beladiri lain dari bangsa Asia. IPSI aktif membenahi sistem organisasinya. Demikian pula Perguruan Bhayu Manunggal. Sejak berdirinya POPSI, aktifitas organisasi meningkat. Oleh siswa-siswa senior didirikan cabang-cabang organisasi POPSI diberbagai daerah. Setiap event yang diselenggarakan IPSI diikuti sebagai wujud kebersamaan.
Pada rentang waktu tahun 1970-1980, setelah beberapa tahun berdirinya POPSI sebagai organisasi, para siswa keluarga Perguruan Bhayu Manunggal yang sudah lebih dahulu mendirikan organisasi, diinventarisasi, agar supaya kelak tidak kehilangan sumber ilmu. Berdasarkan kesepakatan organisasi, semua bersatu dalam satu bendera. Sebagai induk organisasi dibentuk Pengurus Besar POPSI Bhayu Manunggal. Kepengurusan pertama PB POPSI Bhayu Manunggal dimotori oleh tiga orang, yaitu Ir. Widodo, Drs. Warie Suharyanto, dan R. Subur BA.
Sejak saat itu Perguruan Bhayu Manunggal berkembang melalui organisasi POPSI Bhayu Manunggal. Tidak berbeda dengan perguruan-perguruan Pencak silat yang lain di Nusantara. POPSI Bhayu Manunggal menyebar kesemua penjuru tanah air dan manca negara. Pada dekade kedua PB POPSI Bhayu Manunggal, jalannya organisasi semakin solid, motor organisasi menjadi empat orang, yaitu Ir. Wododo, Drs. Warie Suharyanto, R. Subur BA dan Ahmad Husein Indrajaya BSc. Organisasi Perguruan sejak berdirinya POPSI 1970, aktif mengikuti kegiatan persilatan nasional dan internasional. Beberapa siswa laga, dari beberapa daerah dan negara selalu mewarnai persilatan nasional dan internasional.
Sesuai dengan falsafahnya, bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup, maka demikian pula penyebaran ilmu Bhayu Manunggal berlangsung alamiah, melalui para pribadi yang pernah berguru secara pribadi langsung kepada Ki Djojosuwito sejak Perguruan Bhayu Manunggal berdiri maupun melalui siswa-siswa senior setelah dibentuknya badan organisasi POPSI yang kemudian menjadi POPSI Bhayu Manunggal.
Hingga kini masih banyak pribadi-pribadi yang memiliki ilmu Bhayu Manunggal belum terjangkau oleh komunikasi Keluarga Besar Bhayu Manunggal baik di tanah air maupun di luar negeri. Kita yakin dengan semangat dan kesadaran para pewaris yang terus menularkan dan mengembangkan ilmu Bhayu Manunggal yang merupakan aset peradaban manusia yang diciptakan oleh Ki Djojosuwito akan terus lestari membekas tidak akan hilang ditelan jaman.
Perguruan Bhayu Manunggal bersandar dan berlindung kepada Tuhan yang Maha Kuasa bersifat kekeluargaan dengan organisasi Pelopor Pencak Silat Indonesia (POPSI) yang tidak bernaung di dalam organisasi atau partai politik manapun.
(Dok. Perguruan)
BADAN HUKUM
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-0015983.AH.01.07.TAHUN 2018 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Pelopor Pencak Silat Indonesia Bhayu Manunggal, yang ditetapkan di Jakarta, tanggal 20 Desember 2018, telah menetapkan Memberikan Pengesahan Badan Hukum PERKUMPULAN PELOPOR PENCAK SILAT INDONESIA BHAYU MANUNGGAL disingkat POPSI BHAYU MANUNGGAL. Berkedudukan di Jakarta Selatan, sesuai salinan Akta Nomor 01 Tanggal 11 Desember 2018 yang dibuat oleh EKO PUTRANTO, SH, yang berkedudukan di KOTA JAKARTA SELATAN.
(Dok. Perguruan)
|
|